Balai Serba Guna Desa Karangkancana |
Pada
zaman dulu di Gunung Sukmana konon ada seorang Pendita yang bernama Anjar
Padang. Ia memiliki putri cantik yang bernama Nyi Endang Geulis, karena
kecantikannya, membuat seorang raja Mataram merasa penasaran akan kabar
kecantikan sang putri, lalu ia pun mengutus patih yang bernama Niti Baga untuk menjemput sang putri untuk dijadikan permaesuri. Maka Patih pun pergi ke Gunung
Sukmana untuk menjalankan titah sang raja.
Setibanya
di tempat yang dituju, patih Niti Baga menyampaikan maksud dan tujuannya kepada
Pendita Anjar Padang, tanpa kesulitan patih berhasil mendapatkan ijin dari sang
Pendita, dan dapat memboyong putri ke Mataram.
Kepergian
sang putri ternyata tidak dilepas begitu saja oleh sang Pendita, ia pun ikut
menggendongnya dengan sebuah kain (gembolan) sampai kesuatu tempat yang cukup
jauh dari tempat tinggal Pendita. Tiba ditempat tersebut, Pendita
menurunkan putrinya dan membuka kain (gembolan) pelindungnya. Tempat membuka
kain (gembolan) kini dikenal dengan sebutan Jatigembol tepatnya di wilayah
Kecamatan Cibingbin. Dari tempat itulah sang Pendita melepas kepergian
putrinya.
Dalam
perjalanan menuju Mataram rombongan sang putri istirahat sebentar, tempat
tersebut kini dikenal dengan sebutan Sindangjawa (Tempat mampirnya orang Jawa),
saat istirahat Nyi Endang Geulis menyempatkan diri untuk mandi di sana. Pada
saat mandi secara tidak sengaja melihat sang putri yang sedang mandi, karena
tertarik dengan kecantikannya, patihpun akhirnya berniat ingin mempersunting
Nyi Endang Geulis. Tempat dimana hati patih jatuh hati kepada putri sekarang
dikenal dengan nama Cijangkelok (yang artinya Sungai tempat jatuhnya hati).
Untuk
memenuhi keinginannya, patih tidak melanjutkan perjalanan ke Mataram tapi
mengalihkan perjalanan menuju ke Banyumas bersama rombongan, tanpa perasaan
takut.
Kepergian
Patih Niti Baga dari Mataram sudah terbilang lama hingga beberapa bulan, belum
juga kembali, hal ini membuat raja merasa gelisah, dalam hatinya penuh dengan
banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Akhirnya dengan beberapa
pertimbangan ia bermaksud akan mengutus pasukan untuk menyusul Patih ke gunung
Sukmana. Tapi belum juga pasukan yang ditugaskan berangkat, Pendita Anjar
Padang datang berkunjung ke istana untuk bertemu dengan putrinya.
Kejadian
ini membuat raja murka terhadap Patih, maka pasukan yang sudah disiapkan
untuk menyusul Patih, kini benar-benar diperintahkan untuk mencari dan membawa
patih Niti Baga beserta Nyi Endang Geulis dan menerima hukuman mati dari
kerajaan. Mendengar pembicaraan raja, Pendita langsung pergi mencari putrinya,
karena khawatir akan ancaman raja.
Karena
kesaktiannya, Pendita itu lebih dulu menemukan Patih Niti Baga beserta putrinya
Nyi Endang Geulis, demi keselamatan, Pendita pun akhirnya membawa mereka dan
beberapa pasukannya menuju Gunung Sukmana.
Setibanya
di kaki Gunung Sukmana, tepatnya di Cijurang (kini tempat tersebut dikenal
dengan sebutan Lebak Cijurang), Pendita Anjar Padang membuat goresan diatas
tanah, dengan tujuan: siapa saja yang berani melewati tanda garis yang
digoreskan dengan pedang saktinya dan berniat mencelakakan keluarga Pendita
beserta pengikutnya, maka akan binasa sebelum melewati garis tersebut.
Belum
juga satu bulan Pendita beserta pengikutnya berada di Gunung Sukmana, pasukan
Mataram yang ditugaskan untuk menyusul mereka tiba di sana. Namun perjalanan
mereka terhenti di kaki gunung ketika melihat goresan aneh dihadapannya, suatu
garis yang jelas mempunyai kekuatan dahsyat sengaja digoreskan oleh seorang
yang sakti, terbukti pasukan berkuda pun tak mampu melewatinya. Bahkan, pasukan
mereka seperti yang bingung dan kuda-kuda mereka ketakutan, akhirnya pasukan
Mataram berhenti beberapa jam disana, setelah beristirahat akhirnya mereka
memutuskan akan memaksakan pasukan kudanya melewati garis, ketika mereka
melewati garis itu, seluruh pasukan binasa, termasuk kuda yang ditungganginya.
Empat
bulan lebih pasukan Mataram yang ditugaskan mencari Patih Niti Baga tak kunjung
kembali, maka raja Mataram merasa kesal dan marah, akhirnya raja mengutus
seorang pangeran sakti yang bernama Dipati Pasir beserta putranya untuk
menyusul pasukan pertama.
Setelah
menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, pasukan Pangeran Dipati Pasir dan
putranya tiba di kaki Gunung Sukmana, tetapi sebelum mereka sampai ke tempat
goresan keris sakti, ternyata Pendita sudah berada di sana, lalu ia memberi perhatian kepada pasukan Pangeran Dipati Pasir, agar tidak melewati garis yang dibuatnya, karena pasukan
pertama pun dulu binasa,
akibat memaksakan diri melewati goresan tersebut. Mendengar ancaman yang tidak
main-main itu pasukan Pangeran Dipati Pasir berhenti dan melanjutkan langkahnya
menuju ke tampat lain.
Setelah
Pendita pergi, Pangeran Dipati Pasir memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram,
karena takut akan ancaman raja, bahwa jika tidak berhasil membawa putri Nyi
Endang Geulis beserta Patih Niti Baga maka pasukannya akan mendapatkan hukuman
pancung dari kerajaan, begitupun untuk melanjutkan perjalanan tidak mungkin, karena
ancaman mati dari Pendita, maka akhirnya mereka berjalan melingkar ke sebelah
barat Gunung Sukmana.
Di
tempat yang datar, tepatnya sebelah barat Gunung Sukmana, mereka membuat
perkampungan kecil dengan membangun beberapa gubug sederhana sebagai tempat
tinggal. Mereka memilih tempat itu karena selain nyaman juga dekat dengan
sebuah sungai. Keadaan sungai yang kecil tapi airnya mengalir deras dan jernih,
dengan dasar tanah porang dan tidak berpasir, sehingga air tidak mudah keruh.
Lalu mereka menamakan perkampungan tersebut dengan nama Kampung Ciporang (artinya
Kampung Sungai Tanah Porang).
Secara
diam-diam Pangeran Dipati Pasir menjemput istri dan anak-anaknya dari Mataram
serta beberapa pengikut setianya untuk berkumpul di Ciporang. Tempat tersebut sekarang
dikenal dengan sebutan Gunungjawa, yang artinya “orang-orang jawa membuka
tempat tinggal di kaki gunung”.
Pendita
Anjar Padang yang berada di Gunung Sukmana sebenarnya mengetahui keberadaan
mereka, tapi karena tidak mengganggu dan mereka memang membelot dari rajanya,
maka Pendita tidak merasa keberatan mereka membuka perkampungan di sana. Bahkan
Nyi Endang Geulis sering berkunjung ke Ciporang beserta Patih Niti Baga.
Kebiasaan Nyi Endang Geulis sepulangnya dari Ciporang atau dari tempat lainnya
tidak melewatkan diri untuk mandi di kali yang airnya sejuk dan menyegarkan,
tempat mandi tersebut kini dikenal dengan nama Cigunung Geulis (Air Gunung
tempat mandinya Endang Geulis).
Menurut
salah seorang Tokoh Masyarakat Bapak Suhandi, bahwa Patih Niti Baga meninggal
di kampung Ciporang, dan dikebumikan di bukit sebelah barat kampung tepatnya di
makam Gunung Purwa (Astana Gunung), makam tersebut kini dikenal dengan
sebutan makam Eyang Kapidin (Patih Niti Baga). Sedangkan Nyi Endang Geulis
konon dimakamkan di pasir Indang, tepatnya sebelah timur kampung Ciporang, tapi
ada pula yang mengatakan ia hijrah ke wilayah Cirebon. Bahkan konon kini masih
terdapat peninggalan Pendita Anjar Padang beserta putrinya Nyi Endang Geulis
berupa makam dengan ciri terdapat dua buah batu, sebutan Pasir Indang
berarti: pasarean Endang Geulis.
Masjid Jami Jariyatul Muslimin |
B. Kampung Gunungjawa
Keturunan
Mataram yang membelot dari rajanya, yang dipimpin oleh Pangeran Dipati Pasir,
kini sudah membentuk sebuah perkampungan yang sangat subur dengan masyarakatnya
yang damai dan sejahtera. Mengetahui keadaan seperti itu, walaupun mereka
bertahun-tahun hidup di kampung tersebut, Pendita Anjar Padang tidak pernah
mengusik kehidupan mereka, bahkan sesekali putrinya (Nyi Endang Geulis)
berkunjung ke kampung meraka.
Pangeran
Dipati Pasir adalah seorang pemimpin yang
sangat disegani oleh semua orang, ia sangat bijaksana, cerdas dan sangat
pandai. Beliau masih menetap di Kampung
Ciporang sampai pada akhirnya ia pun meninggal dunia, dan dimakamkan di
lokasi pemakaman kampung (Pemakaman Dipati Pasir) wilayah pemakaman umum
sebelah barat Pesantren Bani Sanjur Gunungjawa sekarang.
Setelah
Anjar Padang, Patih Niti Baga (Eyang Kapidin), Nyi Endang Geulis dan Pangeran Dipati
Pasir meninggal, maka muncullah dua orang tokoh yang bernama Den Ayu Kaca dan
Buyut Ketan. Mereka adalah generasi penerus
pemegang tampuk pimpinan dan juga tokoh leluhur Ciporang (Gunungjawa).
Perkampungan
tersebut semakin ramai oleh penduduk, dan pada mulanya dipimpin oleh seseorang
yang bernama Dalem Kertapala. Disana mereka hidup rukun dan damai, makmur dengan pencaharian pokok bertani dan bercocok tanam. Siklus
perekonomian pun berjalan dengan mulus tanpa
adanya gangguan, karena memang tempat
mereka sangat strategis, perairan sangat cukup
mendukung, suasana sejuk dan nyaman serta pemandangan yang indah,
disamping itu setiap orang atau rombongan yang akan datang ke wilayah itu
dengan mudah terlihat dari perkampungan mereka, karena lokasinya yang tinggi,
sehingga setiap gerak-gerik yang kelihatan dan mencurigakan dengan mudah dapat
diketahui.
Kehidupan
terus berjalan mengiringi roda jaman, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun
ke tahun, dan akhirnya perkampungan itu telah menjadi sebuah perkampungan yang
ramai dengan segala aktivitas penduduknya. Beberapa pimpinan kampung telah
terjadi pergantian secara adat dan turun temurun, tapi setelah keturunan Dalem
Kertapala tidak ada yang dapat meneruskan
tampuk kepemimpinan leluhurnya, maka pimpinan kampung di pimpin oleh Demang
yang bernama Demang Adiwiguna. Saat itulah pertama kali pemimpin dapat dipilih
secara demokrasi oleh masyarakat, dan sejak itulah Ciporang mulai dikenal
dengan sebutan Dukuh Gunungjawa yang berarti Orang-orang Jawa berkumpul di
Kaki Gunung. Kehidupan masyarakat Gunungjawa yang sudah terbiasa hidup
damai dan memiliki sifat saling menghormati, maka siapapun pimpinannya tidak
membuat mereka berpecah-belah, tetapi justru saling menghormati antara satu
dengan yang lainnya.
Kecemasan dan rasa takutpun sedikit demi sedikit
berkurang, bahkan akhirnya kehidupan mereka semakin merasa nyaman Pendita Anjar
Padang beserta putri dan rombongannya tidak ada lagi, tapi walaupun demikian
satu orangpun belum ada yang berani melewati garis yang digoreskan oleh Pendita
(Lebak Cijurang), karena mereka masih takut akan ancaman Pendita.
C. Masa Awal Kampung
Gunungjawa
Seiring berjalannya waktu Gunungjawa telah berubah wajah
menjadi sebuah desa yang dipimpin oleh seorang Kuwu pertamanya H. Gontang.
Ia seorang yang bijaksana, disegani oleh masyarakatnya, dan iapun sangat
menyayangi warganya.
Menurut keterangan beberapa tokoh Gunungjawa, bahwa pada sekitar tahun 1910-an sebagai awal dari pembangunan dibidang Pendidikan, khususnya
pendidikan Agama, telah di mulai kegiatan pengajaran membaca Al-Qur`an
dan kitab-kitab pelajaran tentang syariat Islam secara teratur dan terarah oleh
seorang ulama yang bernama
Kyai Madrawi. Pada awalanya para pelajar (santri) hanya putra-putri
Gunungjawa.
Hasil
didikan dan binaan Kyai Madrawi sangat menggembirkan, kehidupan beragama di
Gunungjawa bagitu nampak, misalnya saja setiap waktu sholat Masjid yang sangat
sederhana selalu dipenuhi oleh warga masyarakat yang melaksanakan sholat
berjamaah. Walaupun mata pencaharian mereka
mayoritas bercocok tanam, tapi waktu sholat dzuhur mereka pasti pulang
untuk melaksanakan sholat berjamaah, setelah melaksanakan sholat diantara
mereka ada yang kembali melanjutkan
aktivitasnya.
Banyak
diantara santri yang telah menimba ilmu dari
Kyai Madrawi melanjutkan menuntut ilmu ke daerah lain, misalnya saja
seorang putra Gunungjawa yang bernama Hulaemi berhasil menuntut ilmu di
Pesantren Jagasara, Cidahu, pimpinan Kyai Abdul Halim. Sekitar tahun 1918 pada
saat kyai Madrawi berusia lanjut, maka beliau memerintahkan muridnya yaitu
Ajengan Hulaemi untuk melanjutkan misinya
menyampaikan risalah dan ajaran Islam di Gunungjawa.
Kegiatan
pengajian di Gunungjawa semakin maju dan banyak dikunjungi para santri dari
berbagai daerah. Kehidupan islami tampak dari perilaku sehari-hari, masyarakat yang ramah dan saling
menghormati, tolong-menolong diantara mereka, hampir tidak pernah terdengar
adanya kesenjangan di antara mereka.
Berhubung
banyaknya santri yang berkunjung ke Gunungjawa
mendorong Ajengan Hulaemi mendirikan Pesantren, maka pada bulan April
1920 Beliau mendirikan Pesantren Gunungjawa.
Setelah
berdirinya sebuah Pesantren, maka Gunungjawa semakin luas dikenal masyarakat,
keberadaan Pesantren akhirnya tersebar ke seluruh daerah, khususnya daerah
Kuningan, Cirebon dan Brebes Jawa Tengah.
D. Masa Proklamasi
Rangkaian
kepemimpinan H. Gontang hingga kepemimpinan Argasuwita di Desa Gunungjawa yang
nyaman, damai dan sejahtera itu, rupanya harus terhenti oleh gejolak politik
internasional, yaitu penjajah dari luar negeri (Belanda) yang tujuan awalnya
adalah mencari rempah-rempah ke wilayah Negara Republik Indonesia, tapi pada
akhirnya justru melakukan penindasan hal ini jelas berimbas ke pelosok
pedesaan.
Disusul
datangnya penjajah Jepang yang memiliki tujuan sama yaitu ingin menduduki dan
merebut negara Indonesia. Belanda pergi tapi datang penjajah baru yang sama menjajah
negeri ini.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, hari Jum`at Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno
dan Bung Hatta, atas nama rakyat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di
Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kabar tersebut memang terlambat diterima oleh
masyarakat pedesaan, karena larangan penguasa Jepang, untuk menyiarkan
peristiwa penting tersebut. Baru pada tanggal 18 Agustus 1945 kabar tentang
kemerdekaan Republik Indonesia ramai di dengar masyarakat Gunungjawa.
Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, disambut dengan suka cita, oleh
seluruh pemuda, santri dan warga masyarakat, namun perasaan suka cita itupun
tidak bertahan lama, pasalnya terdengar kabar bahwa setelah Jepang pergi,
Belanda kembali lagi ke Tanah Air, mendengar berita tersebut maka seluruh
pemuda, santri dan masyarakat Gunungjawa bertekad mempertahankan Kemerdekaan
hingga tetes darah penghabisan, siap mempertahankan tanah Gunungjawa
bersama-sama dengan TNI. Hal itu dibuktikan oleh para pemuda, santri dan warga
masyarakat Gunungjawa, mereka selalu berusaha menghalang-halangi setiap
gerak-gerik tentara Belanda. Berbagai taktik dan siasat diupayakan untuk
menghambat aktivitas tentara Belanda, cara-cara yang digunakan oleh para pemuda
dan masyarakat Gunungjawa untuk melawan tentara Belanda adalah:
Upaya
menghambat jaringan informasi tentara Belanda dengan cara menggunting dan
memutuskan kabel telepon, yang ada di jalur Luragung – Ciwaru.
·
Setiap jalan yang akan dilalui tentara Belanda
dipasang jebakan dan ranjau maupun perangkap lainnya yang dapat menghambat
aktivitas tentara Belanda.
·
Sebagian pemuda ada yang menjadi mata-mata dan
pengintai aktivitas tentara Belanda.
Pada
masa itu, Pesantren Gunungjawa menjadi tempat persembunyian sekaligus tempat
berkumpulnya para tokoh pejuang golongan Islam, dalam menyusun strategi dalam
menumpas penjajah Belanda, mereka itu antara lain adalah Kyai Zahid (ayah kyai
Izzuddin) pimpinan Pondok Pesantren Buntet Kabupaten Cirebon, Kyai Abdul Halim
pimpinan Pondok Pesantren Jagasara Cidahu, dan Kyai Moch. Suntana seorang
pimpinan Lasykar Hizbullah Kabupaten Cirebon dan sekaligus beliau adalah Kepala
Desa Leuweunggajah Kec. Ciledug Kabupaten Cirebon.
Setelah
penjajah Belanda terusir dari Tanah Air, mereka (Kyai Zahid, dan Kyai Abdul
Halim) kembali ke tempatnya masing-masing, kecuali salah seorang dari mereka
tidak kembali ke tempat asalnya Desa Leuweunggajah, beliau adalah Kyai Moch.
Suntana. Beliau menetap di Gunungjawa dan mempersunting putri Gunungjawa Siti
Khodijah, putri pasangan suami-istri Mbah Jangkung Kertawijaya dan Hj. Siti
Suryami.
Setelah
menikah dengan Siti Khodijah beliau menjadi pengajar pendidikan Agama Islam di
Pesantren bersama-sama dengan Ajengan Hulaemi, karena memang beliau adalah
jebolan Pesantren Jombang, Jawa Timur. Dikemudian hari beliau lebih dikenal
dengan nama Kyai Badrun.
Desa
Gunungjawa dalam perjalanan menuju puncak kejayaan, tentunya harus diimbangi
oleh semangat perjuangan membela tanah air dan adat keturunannya, walaupun
rintangan terus menghadang, tapi seluruh masyarakat Gunungjawa selalu sigap dan
bersatu menghalau segala rintangan. Hal ini dibuktikan oleh warga masyarakat
Gunungjawa yang terus menerus membangun desanya secara periodik dipimpin
beberapa kuwu, sejak Kuwu H. Gontang hingga kepada kuwu sesudahnya.
Tercatat
beberapa nama Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Gunungjawa dari masa
penjajahan Belanda sampai masa Bedol Desa, yaitu:
1.
H.
Gontang :
Tahun 1865
2.
Cakradinata
: 1866 - 1898
3.
Argasuwita
: 1898 - 1920
4.
Raksasuwita
: 1920 - 1946
5.
Dahlan
: 1946 (6 bulan)
6.
Baskat
: 1947 (3 bulan)
7.
H.
Wirya Atmaja : 1947 - 1967
E. Gunungjawa digempur Belanda dan
Gerombolan DI/TII
Sebuah
desa yang jauh dari kebisingan kota, terletak di kaki Gunung Sukmana, dengan
tetumbuhan lebat disekitarnya, pasti lepas dari perhatian kalangan masyarakat
khususnya pemuda. Padahal di Desa Gunungjawa puluhan bahkan ratusan rangka
pejuang tak dikenal. Mereka gugur karena mempertahankan kemerdekaan.
Pada
tahun 1947 yang silam, Belanda melancarkan Agresi I, ketika itu Belanda dengan
persenjataan lengkap membombardir Kota Cirebon dan sekitarnya. Serangan
mendadak itu mengagetkan penduduk setempat, antara lain penduduk Ibu Kota
Kuningan, Luragung, Ciwaru dan Cibingbin. Banyak korban berjatuhan dalam
serangan itu, baik dari pihak rakyat maupun tentara, tidak terkecuali di
Gunungjawa yang notabene termasuk wilayah Ciwaru, dan berdekatan dengan kota
Luragung dan Cibingbin.
Serangan
Belanda tersebut bukan tidak beralasan, karena memang daerah-daerah tersebut
dinilai sebagai basis pejuang-pejuang Jawa Barat. Selain Bandung apalagi
Cirebon pertama kalinya diumumkan Kemerdekaan Indonesia oleh saudara Soedarsono
(Ayah Prof. Yuwono Soedarsono), pada tanggal 16 Agustus di Desa waled-Cirebon.
Setelah
mendapat serangan gencar terjadi pengungsian besar-besaran dari Cirebon ke
Ciwaru dan Gunungjawa, Keputusan itu berdasarkan kesepakatan Dewan Pertahanan
Keresidenan Cirebon dan Brigade V, yang sebelumnya merencanakan pengungsian itu
ke daerah Bobos Mandirancan. Pasukan yang pertama datang ke Ciwaru dan
sekitarnya pada awal Agustus 1947 adalah pasukan kelaskaran yang dikenal dengan
nama Pasukan Istimewa (PI) berkekuatan satu bataliyon dipimpin oleh Kapten
Safei dan Letnan Said. Selanjutnya ratusan pengungsi secara bergelombang
berdatangan ke Ciwaru dan Gunungjawa, baik Pegawai pemerintah, tokoh
masyarakat, Kepolisian Karesidenan Cirebon, dan tidak sedikit rakyat biasa turut
mengungsi ke wilayah Ciwaru dan Gunungjawa. Selain dari PI pasukan kelaskaran
lainnya berdatangan seperti dari Divisi Bambu Runcing (BR) dari Yogyakarta
dibawah pimpinan Kolonel Sutan Akbar, yang mendapat surat tugas resmi dari
Jenderal Sudirman, pasukan BR ini kebanyakan bermukim di Gunungjawa. Menyusul
Pasukan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan kehadiran Bataliyon 400
tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP) pimpinan Salamun AT dan AF
Wirasutisna ke wilayah Ciwaru dan sekitarnya serta mendapat sambutan masyarakat
Gunungjawa.
Masyarakat
Gunungjawa sangat gigih dalam mempertahankan kemerdekaan, jiwa juang dan
kepatuhan terhadap Pemerintah Republik Indonesia tak pernah tergoyahkan.
Belanda jengkel, Mereka bertindak! Pada suatu hari melayang-layang sebuah kapal
terbang tipe capung yang bertugas sebagai pengintai di atas hutan dan
perbukitan sekitar wilayah desa Gunungjawa, Cileuya, Pabuaran dan Ciwaru. Tidak
lama kemudian menderu-deru tiga buah kapal Bomber. Gubug-gubug persembunyian
geriliyawan di hutan-hutan dan perbukitan, juga rumah penduduk Gunungjawa dan
sekitarnya yang disinyalir ditempati pasukan Hizbullah pimpinan Une dibombardir
disertai peluru mitraliur. Gunungjawa saat itu banjir darah dan jerit tangis
penduduk yang kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal mereka luluh hancur
dilumat bom dan peluru ganas. Banyak pejuang dan rakyat menjadi korban tindakan
diluar perikemanusiaan Militer Belanda. Tapi tindakan kejam itu tidak
mematahkan semangat perlawanan warga masyarakat. Justru sebaliknya perlawanan
rakyat dan geriliyawan Hisbullah kian merajalela.
Pada
bulan Februari 1949 tentara Belanda ditarik dari wilayah Ciwaru, Pabuaran dan
Gunungjawa, yang tersisa hanya Markas Perwakilan Belanda yang berkedudukan di
Desa Segong. TNI secara bergelombang terus berdatangan dari Yogya. Jalur yang
ditempuh TNI melalui jalur Cimara melalui perkampungan Indrakila (sekarang
Indrahayu) dan Gunungjawa sebagian dari mereka ada yang melanjutkan perjalanan
menuju Sumberjaya, karena di Desa Segong masih ada Markas Belanda, maka jalur
yang lewati melalui Desa Kaduagung - Margacina - lalu tembus ke Sumberjaya.
Sebenarnya mereka akan melanjutkan perjalanan ke daerah Cijambu Subang.
Akhirnya wilayah Gunungjawa, Pabuaran Getasan dan Ciwaru diduduki TNI Kompi
Kusuma Negara pimpinan Kapten Mustofa Sudirja. Hal ini tercium oleh pihak
Belanda. Diawali dengan melayang-layangnya sebuah kapal terbang tipe capung,
perkampungan Gunungjawa dan sekitarnya termasuk Ciwaru sebagai basis
persembunyian para geriliyawan dihujani peluru Kanon yang ditembakan dari
Luragung tidak kurang dari 150 butir, tidak puas dengan penyergapan Belanda
beralih menghujani wilayah Gunungjawa dari arah Cileuya dengan tembakan kanon
yang menghancurkan perkampungan penduduk, dilakukan sekitar pukul 19.30 WIB
(setelah sahalat Isya), tembakan kanon menghujani kampung Margacina. Pukul
22.00 WIB Belanda kembali menghujani dengan tembakan kanon dari Cileuya, kini
giliran Desa Gunungjawa yang jadi sasaran. Gedung SR (Sekolah Rakyat) hancur
lebur jadi sasaran, rumah penduduk banyak yang hancur. Tidak sedikit rakyat dan
pejuang luka-luka berat maupun luka ringan, salah seorang warga yang menjadi
saksi hidup saat itu terkena tembakan keganasan peluru Belanda yaitu Bapak
Sarju (bapak Sahri). Sementara itu Belanda secara rutin mengadakan patroli ke
desa-desa dan mengadakan penyergapan secara mendadak ke kampung-kampung yang
dicurigai sebagai tempat persembunyian geriliyawan, terutama desa Gunungjawa
yang dianggap basis Hisbullah pimpinan Une, penyergapan dilakukan dikala fajar
menyingsing. Pada suatu siang hari pesawat terbang tipe capung kembali
menghujani peluru dari atas Desa Gunungjawa.
Berikut
ini adalah nama-nama korban luka berat dan ringan pada waktu terjadinya
penembakan Belanda disiang hari, tepatnya hari selasa, tanggal 22 November
1947, yaitu: Bapak Sajud, Ibu Suryi Istri Kuwu Dahlan, dan Bapak Waspi.
Gunungjawa
salah satu desa dari 369 desa di Kabupaten Kuningan bagian Timur, yang memiliki
nilai histories tersendiri pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan,
penduduk Gunungjawa tidak hanya menghadapi gempuran serdadu Belanda, tetapi
justru diserang pula oleh gerombolan DI/TII. Gerombolan DI/TII sering menteror
penduduk, bahkan tidak segan-segan mereka membunuh penduduk yang tidak
mengikuti keinginannya, tak pelak lagi rumah Kuwu Baskat (Kepala Desa) pun jadi
amukan gerombolan DI/TII yang ujung-ujungnya rumah tersebut dibakar habis dan
ia meninggal pada tahun 1947. Itulah rumah kedua di Gunungjawa yang dibakar
setelah rumah Bapak Eman.
Perjuangan
yang tidak pernah berhenti, itulah Gunungjawa, sejak pergolakan penjajah
Belanda, desa kecil ini terus mengalami tekanan dan gempuran hebat, sejak
Belanda pertama datang ke tanah air, dilanjutkan dengan penjajah Jepang,
walaupun tidak begitu lama tapi pergolakan Jepang tetap saja menelan korban.
Jepang pergi muncul kembali Belanda untuk yang kedua kalinya, terjadi
konflik tiga dimensi antara tentara Hisbullah pimpinan Une, TNI dengan
gerombolan DI/TII Pimpinan Karto Soewiryo, kejadian tersebut berakibat terjadinya
korban, bukan saja dari pihak-pihak konflik, tetapi berimbas kepada
penduduk.
Suasana
desa kian porak-poranda setelah gerombolan DI/TII membabi buta menteror
perkampungan Gunungjawa, dua rumah penduduk habis dibakar dan banyak penduduk
yang tidak berdosa menjadi korban keganasan gerombolan. Akibatnya banyak
menelan korban jiwa, harta benda, termasuk kegiatan pendidikan menjadi
terlantar. (HK)
Rumah buyut suami saya juga katanya dibakar olrh gerombolan di/tii sampai sampai alat gamelan. Dan beberapa pusaka kluarga besar suami saya dibakar. .Nama buyut suami saya soerya atmadja bin satya winata..
BalasHapus